SIAPA SIH ERIK TEN HAG?

Erik ten Hag adalah suksesor manajer Manchester United berikutnya setelah rombongan David Moyes, Louis van Gaal, Jose Mourinho, Ole Gunnar Solksjaer, dan terakhir Ralf Rangnick. Deretan nama ini merupakan nama-nama kesekian pasca  manajer legendaris Sir Alex Ferguson. Nama-nama tersebut datang dengan reputasi dan resume yang memukau, namun dianggap gagal memenuhi aspirasi fans Manchester United yang selama lebih dari dua dekade terninabobokan oleh sihir Sir Alex. David Moyes dianggap jenius karena membawa tim pas-pasan Everton menjadi tim yang selalu diperhitungkan di Premier League. Moyes bahkan merupakan rekomendasi langsung dari Sir Alex, yang dianggap tidak saja berbekal teknis namun juga sebagai motivator ulung bagi tim yang ditanganinya. Van Gaal dan Mourinho membawa resume yang dahsyat dengan segala prestasi liga domestik di berbagai negara dan bahkan Liga Champions. Solksjaer merupakan legenda hidup MU yang semasa menjadi pemain menjadi favorit fans, sehingga walau berbekal pengalaman kepelatihan yang minim namun bisa mendapatkan kepercayaan sebagai pelatih. Rangnick membawa resume menangani klub RB Leipzig mulai dari promosi ke Liga Utama sampai disegani di Liga Jerman serta menunjukkan kejutan di Liga Champions.  Rangnick berstatus ad-interim (sementara) yang bertugas menjaga transisi manajerial dari Solksjaer ke Erik ten Hag. Selanjutnya nantinya Rangnick akan bertugas menjadi konsultan bagi MU, di sela-sela tugas utamanya menangani Timnas Austria. kepercayaan ini didapat karena Rangnick dianggap memiliki kompetensi dalam mengendus dan memoles talenta-talenta muda, dan memiliki filosofi sepakbola menyerang yang atraktif.

Erik ten Hag berkewarganegaan Belanda berusia 52 tahun. Ia aktif sebagai pemain sepakbola pada periode 1989-2002. Namanya memang tidak secemerlang pemain-pemain Belanda lain pada periode itu seperti Marc Overmars, Ronald Koeman, Dennis Bergkamp, atau trio AC Millan Marco Van Basten-Ruud Gullit-Frank Rijkaard. Ia lebih banyak menghabiskan masa bermainnya di liga domesik Belanda dan pensiun di usia 32 tahun. Resume yang paling cemerlang adalah ketika ia menangani Ajax (2017-sekarang). Tidak saja meraih juara kompetisi domestik, ten Hag dianggap sukses membangun skema permainan Ajax menjadi ofensif dan atraktif. Di tahun 2019, ia membawa timnya mencapai semi-final Liga Champions 2018–2019 untuk pertama kalinya sejak tahun 1997. Di babak 16 besar Ajax mengeliminasi juara bertahan Real Madrid 4–1 di Stadion Santiago Bernabéu dan di perempatfinal mengalahkan Juventus saat laga tandang dengan skor 1-2 setelah sebelumnya bermain imbang pada leg pertama 1-1. Pada leg pertama semifinal, Ajax menang 1-0 melawan Tottenham Hotspur di Stadion Tottenham Hotspur yang baru saja selesai dibangun. Namun di leg kedua, hattrick Lucas Moura  di babak kedua mengakhiri ledakan Ajax. Kala itu Ajax merupakan tim beranggotakan pemain-pemain muda seperti Matthijs de Ligt, Donny Van de Beek, Frenkie de Jong, André Onana, Hakim Ziyech,  dan dikombinasikan dengan pemain veteran seperti Daley Blind dan Klaas-Jan Huntelaar. Ajax memang tersingkir di semifinal, namun mencuri perhatian dunia dengan permainan umpan-umpan pendek dan ofensif. Bekal inilah yang menjadi alasan bagi manajemen Manchester United untuk merekrutnya.

Kalau demikian, apakah ten Hag layak menjadi manajer Manchester United? Pastinya hal ini yang membuat harap-harap cemas para fans MU. Dahaga fans MU pasca Sir Alex seolah tidak terpuaskan, walau Van Gaal sempat memenangi piala FA dan Mourinho sempat memberi trofi Piala Liga Inggris, Community Shield, dan Liga Eropa. Lagi-lagi jawabannya klise: Hanya waktu yang bisa membuktikan harapan ini. Menurut Penulis pribadi, profil ten Hag memang cukup menjanjikan, namun relatif tidak melebihi profil pelatih-pelatih MU sebelumnya. Bursa manajer sepakbola sekarang dipimpin oleh Pep Guardiola dan Jurgen Klopp sebagai hottest prospect. Yang mereka lakukan tidak sekedar menghasilkan prestasi tertinggi, namun juga sukses mentransformasikan tim mereka masing-masing menjadi tim yang solid dan enak ditonton. Di belakang mereka baru berbaris kandidat-kandidat lain seperti Zinedine Zidane, Thomas Tuchel, Antonio Conte. Setelah itu lapis berikutnya adalah Mauricio Pochettino, Roberto Mancini, Carlo Ancelotti, Jose Mourinho.  Bagi penulis pribadi, ten Hag justru sudah over-exposure saat ini. Bila diperbandingkan dengan para mantan, ten Hag ini sebenarnya mirip dengan David Moyes. Moyes dianggap sukses menangani tim muda dan dengan budjet pas-pasan, namun justru kedodoran ketika memangani tim dengan nama besar dan budjet yang jauh lebih besar. Di luar jajaran para mantan ada Mauricio Pochettino yang juga sempat menjadi kandidat manajer MU. Situasinya mirip ketika Pochettino menangani Tottenham Hotspur. Dengan pemain dan budjet pas-pasan bisa disegani di Liga Inggris dan bahkan sempat menjadi runner-up Liga Champions. Namun ketika diberikan ruang budjet yang besar dan pemain-pemain bintang di Paris Saint Germain, polesannya justru melempem dan banyak mendapat cibiran.

Terus, bagaimana baiknya? Ya wait-and-see saja. Optimisme boleh-boleh saja, namun bagaimana pun ten Hag butuh waktu untuk membangun tim seperti Manchester United ini.  Stok pemain rasanya memadai, bahkan lebih dari cukup – walau bisa dipastikan akan ada perombakan lagi oleh ten Hag. Jurgen Klopp pun membutuhkan waktu untuk membangun Liverpool menjadi seperti saat ini. Bahkan Sir Alex Ferguson membutuhkan waktu lama untuk membangun Manchester United. Ia mulai menangani MU tahun 1986, dan baru meraih piala FA tahun 1989 dan juara Premier League tahun 1992. Yang dinanti sebagai pertanda awal adalah organisasi dan pola permainan, yang selama ini tergolong miskin dimiliki oleh tim United pasca Sir Alex. Klopp di Liverpool sukses melewati masa transisinya karena menghadirkan pola permainan yang aktif dan atraktif. Walau tidak juara, namun Klopp menghadirkan skema main yang dinamis dan enak ditonton. Hal ini ini tampaknya akan menjadi parameter juga bagi transisi Erik ten Hag nantinya di Manchester United. Sebagai fans MU, Penulis berharap ten Hag bisa menghadirkan organisasi dan skema main yang jelas. Dukungan konsultansi dari Rangnick diharapkan bisa menghindari langkah-langkah panic buying  ketika membeli Harry Maguire dengan harga terlalu mahal maupun Christiano Ronaldo yang sudah “senja”.  Profil ten Hag sebenarnya mirip-mirip dengan Jurgen Klopp maupun Pep Guardiola, bukan ke pragmatisme ala Jose Mourinho ataupun Solksjaer. Klopp dan Guardiola sebenarnya menerapkan skema main yang ketat, baru kemudian memberikan kebebasan bermain bagi pemainnya. Pragmatisme Mourinho dianggap sudah obsolete dan sudah bisa ditebak dan dibaca lawan-lawannya. kebebasan ala Solkjaer justru  terlalu longgar dan membingungkan. Mungkin Solksjaer terlihat bagus di masa awal ketika transisi dari Mourinho, namun kemudian lambat laun semakin berkurang efektivitasnya. Pemainnya yang tadinya terkekang oleh Mourinho terlihat awalnya lebih bebas, namun kemudian kebingungan ketika pola mainnya sudah terbaca dan di pressing ketat oleh lawan. Dengan materi pemain yang melimpah, Mourinho maupun Solksjaer justru lebih sering menerapkan permainan counter attack, yang lazimnya dimainkan oleh tim underdog. Rangnick sekarang ini juga kurang menunjukkan sentuhan yang berarti dan perilakunya saat ini lebih menunjukkan kecenderungan sebagai analis atau konsultan, bukan sebagai pelatih/manajer. Opini Penulis, rasanya peran konsultan untuk MU pun tidak membutuhkan jasa Rangnick. Bila memang dibutuhkan, MU bisa memfungsikan alumni-alumni MU seperti Wayne Rooney, Ryan Giggs, Michael Carrick untuk mencari pemain baru (talent scouting), atau bahkan meminta Sir Alex Ferguson menjadi konsultan.

*OpiniPribadi

Tinggalkan komentar