​VERSANG OBSER: ANAK dan BATU

Versang Obser namanya. Di lain waktu nanti akan ia ceritakan kisah orangtuanya memberinya nama seperti itu. Namun perhatiannya lebih terfokus pada seorang anak sedang asyik di pantai. Dia memungut sebuah batu, mengamatinya, tersenyum sendiri, kemudian menyimpan batu tsb di kantungnya. Di lain waktu, setelah mengamati batu, ia kemudian membuang batu tsb jauh-jauh. Terkadang ia membutuhkan waktu menimbang-nimbang, memutar-mutar batu dan melihatnya  dalam jarak dekat. Kadang setelah itu batu masuk ke kantong. Namun tidak jarang yg dibuangnya juga. Ia tampak menikmati proses tsb: Mengambil batu, melihat dengan seksama, dan memutuskan apakah batu dibuang atau disimpan dalam kantong. 
Versang Obser tersenyum melihat perilaku anak tsb. Mungkin nanti si anak akan menerima amarah dari orangtuanya karena pulang dengan sekantong batu. Namun Versang Obser terkesan dengan ekspresi bahagia si anak tsb ketika menemukan batu yg disukainya. Ketika si anak mengantongi batu, dan menepuk-nepuk sakunya untuk memastikan batu tsb masih di saku. Pikiran Versang Obser melayang-layang mengimajinasikan sesuatu. Ia mulai berpikir, bagaimana bila dinamika tsb merupakan simbol dinamika manusia dan pikiran/perasaannya. Si anak tentunya representasi manusia, sementara batu merepresentasikan pikiran dan/atau perasaan manusia: Tidakkah lebih mudah dan praktis bagi manusia apabila langsung membuang pikiran/perasaan negatif, bila ia menemukannya? Bukankah akan lebih menyenangkan bagi manusia apabila ia hanya menyimpan pikiran/perasaan positif dalam dirinya? Versang Obser jadi lebih bergairah memperhatikan si anak. Ekspresi gembira si anak ketika menemukan batu yg disukainya, coba disinkronkan oleh Versang Obser ke dalam dirinya. Ia memejamkan mata, berusaha memikirkan pikiran dan perasaan positif meresap dalam dirinya. Versang Obser membuka mata, dan melihat si anak sedang berusaha membuang satu batu jauh-jauh. Versang Obser pun berupaya mensinkronkan gerakan membuang batu si anak dengan dinamika dalam dirinya, ketika ia menghimpun segenap pikiran dan perasaan negatif, dan kemudian terlempar seiring dengan gerakan anak melempar batu. Terasa ada kelegaan dalam hatinya. Ia semakin tertarik untuk terus mengikuti arah anak berjalan menyusuri pantai. 

Setiap batu yg disimpan. Setiap batu yg dilempar. 

Dan senja menjelang.

Indahnya Dunia

I see trees of green, red roses too

I see them bloom for me and you

And I think to myself what a wonderful world

 Ah, betapa sederhana liriknya. Musiknya pun mendayu dalam tempo yang lambat. Di lengkapi dengan suara parau penyanyi berkulit hitam  Louis Armstrong. Lirik, musik, dan vokal tsb berpadu menjadi harmoni yang meneduhkan hati bagi siapapun yang mendengar lagu What A Wonderful World ini.

Namun, tahukah anda, bahwa lagu ini sebenarnya merupakan ekspresi penolakan atas diskriminasi rasial yang ada di Amerika Serikat? Mungkin anda tidak pernah menduganya. Lagu tsb dirilis tahun 1967, di mana pada saat tsb terjadi pergolakan rasial di AS. Sebagai informasi, tahun 1955-1968 merupakan periode Gerakan Hak-Hak Sipil Afrika-Amerika  yang menentang diskriminasi rasial terhadap orang Afrika-Amerika dan memulihkan hak-hak suara (politik) mereka. Kerusuhan rasial pada periode itu memuncak dengan terbunuhnya pimpinan kulit hitam, Martin Luther King, Jr pada tahun 1968.

Louis Armstrong bukan pilihan pertama untuk menyanyikan lagu ini. Tony Bennet – yang berkulit putih – yang awalnya ditawari, namun menolak. Si penulis lagu, George David Weiss (menuliskannya bersama dengan Bob Thiele) membuat pengakuan yang dituliskan Graham Nash dalam buku Off the Record: Songwriters on Songwriting, bahwa Weiss membuat lagu tsb khusus untuk Louis Armstrong karena kekagumannya terhadap kemampuan Louis Armstrong yang bisa menyatukan berbagai ras.

Lagu What A Wonderful World ini awalnya tidak serta-merta menjadi hits di AS, bahkan hanya terjual di bawah 1.000 copy karena produser rekamannya, Larry Newton, tidak mempromosikan lagu tsb. Salah satu pertimbangan Larry Newton dan Tony Bennet mungkin adalah kekhawatiran situasi sosial di masa-masa itu. What A Wonderful World justru berjaya di Inggris dan berhasil memuncaki UK Singles Chart tahun 1968 dan mencapai penjualan terbanyak. Di AS sendiri, lagu tsb hanya mencapai  peringkat 116 Billboard Chart. Menurut BBC, lagu ini menjadi “lebih terdengar” di AS setelah menjadi soundtrack di film Good Morning Vietnam tahun 1987, dan ketika ditampilkan sebagai lagu penghormatan atas tragedi Badai Katrina yang melanda New Orleans pada Agustus 2005 yang memakan ribuan korban. New Orleans sendiri adalah kampung halaman Louis Armstrong.

Profesor Peter Ling dari Universitas Nottingham, Inggris menyatakan bahwa Louis Armstrong tidak seperti artis kulit hitam lain, daya tariknya melampaui batasan ras dan mengharapkan pesan kebajikannya tersampaikan – bahwa dunia itu indah, dan demikian pula dengan orang-orang yang ada di dalamnya. Memang tidak semua percaya. Armstrong sebenarnya juga dituduh hanya menjadi penghibur bagi ras kulit putih Amerika. Jelas saja Armstrong menolak. Ia menceritakan bahwa beberapa pemuda pernah menyatakan kepadanya, “Pak, apa maksudmu dengan betapa indahnya dunia? Bagaimana dengan perang di berbagai tempat. Apakah itu yang disebut indah? Jawab Louis Armstrong, “Bukan dunianya yang buruk, namun apa yang kita lakukan terhadap dunia. Lihatlah dunia dengan indah, bila saja kita mau melakukannya. Love, baby – love. That’s the secret”

Tampaknya masa-masa di mana prasangka, kebencian, tragedi, kesedihan, menjadi hal-hal yang hendak dinetralisir oleh lagu ini. Simaklah lirik lagunya. nikmati buaian musik dan vokalnya.Bayangkan hijaunya daun dan merekahnya merah mawar. Bayangkanlah biru langit yang cerah dan awan seputih kapas. Bayangkanlah indahnya warna-warni pelangi. bayangkanlah dua orang teman berjabat tangan dan saling menanyakan kabar. Bayangkanlah bayi yang sedang bertumbuh. Bayangkanlah.

Dan mendesahlah…………….. What A Wonderful World.

**********

Louis Armstrong – What A Wonderful World Lyrics

I see trees of green, red roses too

I see them bloom for me and you

And I think to myself what a wonderful world.

 

I see skies of blue and clouds of white

The bright blessed day, the dark sacred night

And I think to myself what a wonderful world.

 

The colors of the rainbow so pretty in the sky

Are also on the faces of people going by

I see friends shaking hands saying how do you do

But they’re really saying I love you.

 

I hear baby’s cry, and I watched them grow

They’ll learn much more than I’ll ever know

And I think to myself what a wonderful world.

Yes, I think to myself what a wonderful world

 

DI MANA TOMBOL NYALA SAYA?

Saya sebenarnya ingin mengerjakan tugas laporan assesment untuk sebuah perusahaan. Namun setelah beberapa saat duduk di depan laptop, saya merasa sulit untuk berkonsentrasi. Badan saya serasa ingin bergerak. Ketika saya paksakan duduk, saya justru merasa pegal di punggung saya. Saya mencoba berdiri dan menggerak-gerakkan badan saya. Ternyata terasa lebih enak. Saya mulai meloncat-loncat kecil. Kok rasanya lebih bergairah. Saya kemudian berlari-lari kecil di rumah saya – yang jelas tidak besar ini. Ternyata rasanya justru semakin bersemangat. Akhirnya saya putuskan untuk bersepeda.

Saya ingin memanfaatkan momentum semangat ini seoptimal mungkin untuk menjalankan aktivitas olahraga yang telah lama saya tingggalkan. Saya pompa ban sepeda saya, memakai sepatu, menyiapkan musik di handphone beserta earphone nya.

Saya berangkat.

Saat meluncur, terasa sangat menyenangkan, walau kemudian dalam jarak tertentu saya mulai kepayahan menggenjot sepeda saya:-) Pertanyaannya, mengapa saya tidak menemukan semangat ini ketika saya bekerja? Apakah tuntutan kerja sedemikian menguras tenaga saya? Atau justru sifat tugasnya yang menghilangkan semangat saya? Padahal, saya justru bekerja dalam bidang yang sesuai dengan bidang keilmuan saya. Namun Februari 2012 lalu, saya justru mengajukan mundur dari tempat saya bekerja. Alasannya, saya merasa overload dengan tugas-tugas saya di sana. Hal ini juga sempat saya kemukakan pada perusahaan  yang memberi saya kesempatan untuk wawancara kerja. Maka dari itu, saya ucapkan selamat, bagi orang-orang yang bisa menikmati rutinitas dan tantangan kerjanya. Bila ada orang yang bisa menjadi hobinya sebagai pekerjaannya, maka orang tsb adalah orang yang sangat beruntung – di mata saya. Walaupun begitu, bukan berarti yang tidak demikian adalah orang yang terperangkap dengan pekerjaanya. Namun yang ingin saya sampaikan adalah justru jangan sampai merasa terperangkap dengan pekerjaan anda.

Dengan rutinitas anda.

Dalam satu renungan untuk mengambil keputusan. Saya bertekad, bekerja untuk hidup, bukan hidup untuk bekerja. Saya tidak bermaksud untuk menyampaikan hal negatif tentang tempat saya terdahulu – bahkan, saya cenderung mengarahkan hal negatif tersebut pada diri saya. Seperti yang saya sampaikan dalam alasan pengunduran diri saya:

  • Bahwa saya tidak cocok dengan tuntutan tugas yang ada.
  • Tentunya pihak perusahaan bisa mencari yang lebih cocok.
  • Yang lebih tangkas.
  • Yang lebih kompeten.
  • Yang lebih bisa menjawab kebutuhan perusahaan.

Dan tentunya, saya tidak ingin tulisan ini sebagai curhat saya:-)

Bagi saya yang lebih menarik adalah faktor pemicu semangat yang saya ceritakan di awal tulisan. Saya tidak akan memaparkan bagaimana caranya memunculkan semangat tersebut – mungkin di tulisan lain nantinya?

Yang perlu saya tekankan adalah kesadaran untuk menemukan pemicu semangat itu. Bak orang sedang berada dalam kegelapan, tentunya butuh kebutuhan atau kesadaran akan sinar terang. Baru kemudian akan meraba-raba di kegelapan. Tiba-tiba menemukan tombol untuk menyalakan lampu.

Klik, lampu menyala.

– Surabaya, 16 Maret 2012 –