DI MANA TOMBOL NYALA SAYA?

Saya sebenarnya ingin mengerjakan tugas laporan assesment untuk sebuah perusahaan. Namun setelah beberapa saat duduk di depan laptop, saya merasa sulit untuk berkonsentrasi. Badan saya serasa ingin bergerak. Ketika saya paksakan duduk, saya justru merasa pegal di punggung saya. Saya mencoba berdiri dan menggerak-gerakkan badan saya. Ternyata terasa lebih enak. Saya mulai meloncat-loncat kecil. Kok rasanya lebih bergairah. Saya kemudian berlari-lari kecil di rumah saya – yang jelas tidak besar ini. Ternyata rasanya justru semakin bersemangat. Akhirnya saya putuskan untuk bersepeda.

Saya ingin memanfaatkan momentum semangat ini seoptimal mungkin untuk menjalankan aktivitas olahraga yang telah lama saya tingggalkan. Saya pompa ban sepeda saya, memakai sepatu, menyiapkan musik di handphone beserta earphone nya.

Saya berangkat.

Saat meluncur, terasa sangat menyenangkan, walau kemudian dalam jarak tertentu saya mulai kepayahan menggenjot sepeda saya:-) Pertanyaannya, mengapa saya tidak menemukan semangat ini ketika saya bekerja? Apakah tuntutan kerja sedemikian menguras tenaga saya? Atau justru sifat tugasnya yang menghilangkan semangat saya? Padahal, saya justru bekerja dalam bidang yang sesuai dengan bidang keilmuan saya. Namun Februari 2012 lalu, saya justru mengajukan mundur dari tempat saya bekerja. Alasannya, saya merasa overload dengan tugas-tugas saya di sana. Hal ini juga sempat saya kemukakan pada perusahaan  yang memberi saya kesempatan untuk wawancara kerja. Maka dari itu, saya ucapkan selamat, bagi orang-orang yang bisa menikmati rutinitas dan tantangan kerjanya. Bila ada orang yang bisa menjadi hobinya sebagai pekerjaannya, maka orang tsb adalah orang yang sangat beruntung – di mata saya. Walaupun begitu, bukan berarti yang tidak demikian adalah orang yang terperangkap dengan pekerjaanya. Namun yang ingin saya sampaikan adalah justru jangan sampai merasa terperangkap dengan pekerjaan anda.

Dengan rutinitas anda.

Dalam satu renungan untuk mengambil keputusan. Saya bertekad, bekerja untuk hidup, bukan hidup untuk bekerja. Saya tidak bermaksud untuk menyampaikan hal negatif tentang tempat saya terdahulu – bahkan, saya cenderung mengarahkan hal negatif tersebut pada diri saya. Seperti yang saya sampaikan dalam alasan pengunduran diri saya:

  • Bahwa saya tidak cocok dengan tuntutan tugas yang ada.
  • Tentunya pihak perusahaan bisa mencari yang lebih cocok.
  • Yang lebih tangkas.
  • Yang lebih kompeten.
  • Yang lebih bisa menjawab kebutuhan perusahaan.

Dan tentunya, saya tidak ingin tulisan ini sebagai curhat saya:-)

Bagi saya yang lebih menarik adalah faktor pemicu semangat yang saya ceritakan di awal tulisan. Saya tidak akan memaparkan bagaimana caranya memunculkan semangat tersebut – mungkin di tulisan lain nantinya?

Yang perlu saya tekankan adalah kesadaran untuk menemukan pemicu semangat itu. Bak orang sedang berada dalam kegelapan, tentunya butuh kebutuhan atau kesadaran akan sinar terang. Baru kemudian akan meraba-raba di kegelapan. Tiba-tiba menemukan tombol untuk menyalakan lampu.

Klik, lampu menyala.

– Surabaya, 16 Maret 2012 –

Tinggalkan komentar